Cahaya Untuk Negeriku

 

Droen menginspirasi, droen sabe dalam hate

Oleh: Ifmellia, S.Pd

Aku bukan penyuka anak-anak kala itu, aku seorang wanita yang bisa dikatakan tidak tertarik dengan dunia anak-anak. Mungkin saja faktor lingkungan sekitar rumahku yang jarang ramai akan makhluk kecil yang menggemaskan itu. Bisa dikatakan, aku yang paling sering membuat anak orang menangis jika dekat denganku. TIDAK SUKA, BUKAN berarti aku BENCI. Tapi di moment 1 tahun ini belajar mencintai dunia mereka dan hal-hal yang belum pernah dan sudah pernah kualami. Ibarat dejavu di masa kini, bagai fatamorgana di masa depan.

18 Agustus 2015, hari dimana air mata ini tumpah tanpa ada ia yang memelukku di moment itu. Seorang wanita yang kuat yang hebat yang luar biasa, malaikat tanpa sayapku yang di mataku sangat luar biasa hebat, dia adalah ibuku. Penguat dalam doa, pereda dalam gelisah, penyejuk dalam segala hal dan pemberi cinta terbesar dan luar biasa dalam hidupku. Air mataku tumpah, disaat teman-teman yang lain berpelukan mesra dengan orang tuanya, di saat itu aku hanya akan menelan kerinduan 1 tahun ke depan tanpa beliau, yang hanya akan terdengar lewat suara. Akan tetapi aku belajar banyak hal. Karena beliaulah aku disini, beliaulah yang slalu mengajarkanku untuk mencintai duniaku/pekerjaanku dan pada makhluk kecil yang menggemaskan yang berseragam merah putih.

Tuk..tuk.. bunyi derap langkah kaki di atas ubin keramik yang tak lagi putih bersih. Kubuka pintu perpustakaan yang dijadikan sebagai kantor di tempat SD pengabdianku, dengan hamparan rumput menghijau nan lapang, sejauh-jauh mata memandang, sejauh-jauh harapan kulayangkan hingga kampung halaman yang kutinggalkan masih tergiang dalam bayangan, akan tetapi lamunanku buyar pada bocah-bocah kecil yang kian rame menghiasi lapangan pagi itu. sambil tertawa tergelak nan renyah dalam alunan canda tawa teman sebaya, di antara nyanyian pagi para kicauan burung sepanjang hamparan luas kaki Bukit Seuneubok tempat kami menetap sementara.

Lonceng yang sudah karatan itu akhirnya berbunyi. Waktu sudah menunjukkan pukul 08.00 pagi, mulai terdengar riuh suara-suara kecil dan unik mereka ditengah lapangan yang hijau membentang di kelilingi perbukitan yang hijau nan asri yang di sekitar lapangan berjejer rapi pohon pinang dengan buah yang menguning. Sekilas memang lingkungan sekolah tampak biasa aja, tapi subhanallah di depannya berdiri kokoh masjid Babussalam desain bernuansa arab bercorak putih nan bersih. Jika ku ambil fotonya dari kejauhan sudah tampak kemegahannya di tengah-tengah perkampungan ini.

Kami pun berkenalan, wajah bingung dan penuh tanya 56 siswa itu membuatku senyum-senyum saja mengamati. “Ibu guru ini pengganti bapak Dayat yang sebelumnya pernah mengajar di sini”, ungkap pak Bakri sebagai kepala sekolah SDN Seuneubok Alur Buloh. Mereka mengangguk bersamaan, “Satu kampung ya, Bu? Dari Padang juga ya, Bu?” banyak pertanyaan dan suara. Dan singkat perkenalan aku menjawab, “Kita akan berkenalan dan banyak cerita-cerita selama ibu di sini”.

Banyak hal yang dilihat dan diamati dari perjumpaan pertama kami. Tak sama dengan siswa-siswa sebelumnya yang pernah kutemui saat mengajar di kota Bukittinggi, di sini sungguh berbeda. Pakaian seragam yang lusuh, mulai dari baju yang hanya ada 1 atau 2 kancing baju saja, tanpa resleting celana, baju yang hitam dan sudah menguning pula, dan celana yang sudah berenda karena benangnya. Sepatu yang sudah sobek dan ada yang pakai sandal ke sekolah tanpa seragam sekolah lengkap. Dan 1 kebiasaan mereka “jarang mandi” mungkin hanya beberapa anak saja yang sering mandi pagi. Tapi mereka berbeda, mereka unik, itulah mereka anak-anak si bocah merah putih, hatinya tulus, pikirannya tanpa racun kecanggihan teknologi sehingga permainan tradisional jadi kebiasaan mereka yang unik. Mereka banyak bermain dengan alam, memanfaatkan permainan dari alam, mereka akan dekil dengan bermain tanah, baju akan kotor karena bermain segala macam bentuk daun-daunan. Akan tetapi, catur, sepak bola, voli, bulu tangkis dan tenis meja bukan barang asing juga bagi mereka. Ada juga yang jago main catur hingga ikut perlombaan tingkat kabupaten.

Waktu demi waktu kian berlalu, yang awalnya biasa saja. Namun membangunkanku akan masa lalu. Canda mereka, mainan mereka, pakaian mereka, dan segelintir kebiasaan yang seolah terulang kembali serasa aku pernah mengalaminya 17 tahun yang lalu namun dalam situasi yang berbeda. Ibarat mesin pemutar waktu mereka bagai cermin dimana aku pernah menikmati segelintir masa kecil seperti mereka dengan kesempatan dan keberuntungan yang Tuhan hadirkan lebih dari mereka. Dan aku bersyukur hingga saat ini Allah SWT slalu hadirkan hal-hal terbaik dalam hidupku diantaranya pernah hadir dan menjadi bagian yang tak terlupakan di desa ini.

Seiring berjalan waktu mereka jadi sangat menyenangkan, kebetulan aku dipercaya kepsek memegang kelas 4 dan sebagai guru bidang studi matematika. Suatu pagi, aku menceritakan sebuah pengalaman dan kampung halamanku. Ekspresi dan ribuan pertanyaan mereka menyerbuku. 1 hal yang dapatku pahami dari mereka yaitu rasa ingin tau yang tinggi tentang dunia luar wilayah mereka, mereka yang hanya terkungkung di antara bukit-bukit yang menjulang, di antara hamparan sawah dan ilalang yang kian tinggi, menguning, mati dan menghijau kembali memiliki keinginan kuat seperti anak-anak kota dan  semangat belajar yang tinggi. Mereka ingin tau bagaimana sih cerita yang disampaikan Bu Iif ini, benar atau tidak, memang seperti itu kah?

Ribuan ekspresi mereka membuatku semakin antusias dan bersemangat menceritakan hal-hal terbaik dan terindah sebagai pembelajaran agar mereka termotivasi untuk lebih maju dalam pendidikan dan kehidupan.

 “Nak, suatu saat lihat lah olehmu belahan dunia yang lain, yang belum pernah kau singgahi, maka kau akan banyak belajar. Rajin-rajinlah belajar, meski kamu di pedalaman, namun ilmu yang harus kau kejar harus melebihi ilmu mereka yang mengenyam pendidikan lebih di luar sana, kita sama-sama diberi anugerah, hanya saja kondisi yang membuat kita berbeda namun kesempatan sukses itu semua sama. Ibu guru juga sama seperti kalian harus susah dahulu sebelum merasakan senang itu. karena tak ada kesenangan diraih tanpa usaha. Ibu guru doakan agar kalian semua sukses, ingat jangan lupa jalan-jalan ke padang ya”.

Sepenggal kata-kata yang pernah ku ucapkan di kelas IV kala itu, menceritakan masa-masa yang kulalui membuat mereka tak percaya. Di  sinilah salah satu tugasku, selain sebagai teman,  sebagai guru, dan juga sebagai pendidik yang harus mengajarkan  bahwa yang tampak di luar baik belum tentu apa yang telah dilaluinya sebaik yang terlihat, mungkin saja banyak kesakitan yang dilaluinya namun tetap terlihat biasa-bergembira tanpa tau apa rasanya jadi orang tersebut. Maka teruslah tersenyum dan berusaha. Mereka tersenyum mendengarku dan menyeletuk, “Mana mungkin bisa kami buk, jauh kota itu dan susah kami tidak punya uang”, aku hanya menjawab, “Tak ada yang tak mungkin menurut Allah jika kita mau pasti ada jalan”. Sederhana memang dan seperti jawaban orang-orang pada umumnya tapi semoga slalu mereka ingat dan memotivasi mereka hingga suatu saat nanti kudengar berita kesuksesan mereka.  Karena rekreasi terindahku selama di sini adalah mengajar dan mendidik mereka. Semoga salah satu dari anak-anak yang kita didik kelak akan menarik tangan kita ke surga.

Wajah lucu itu pun termangu, mereka seolah tak percaya tapi kuyakinkan tak ada yang tak mungkin, jika kita mungkin pernah punya kisah yang sama. Semua perkataan itu kupecahkan dengan tawa, mereka akhirnya tertawa. Gigi ompong itu pun bermunculan di antara garis-garis wajah cemong tanpa bedak.

Si Merah Putih yang periang dan penuh canda tawa, penyuka catur dan bola, pemburu durian, pemburu mainan tembak-tembak dari bambu dan pemburu cerita. Satu hal yang sangat aku suka dari mereka yaitu rasa ingin tahu yang tinggi. Kebiasaan mereka setiap hari bermain bola di lapangan yang sangat luas membentang tanpa lelah dan penuh keringat. Dunia mereka yang tak luput dari penglihatanku di tahun itu.

Yang perhatian, ya mereka. Dia akan tau apa saja baju yang kita pakai, perubahan wajah kita sakit atau tidaknya. Yang akan memberi komentar tentang apa saja dari penampilan kita hingga bicara, “Jilbab Ibuk hari ini tidak bagus, bagus yang Ibu pakai seperti cara yang kemaren”, celetuk Kasman. Ya aku ingat sosok anak ini yang pernah absen selama 3 hari, pas sekolah ditanya kemana? Ia pasti akan menyuguhkan tawa khasnya dengan ribuan alasan andalannya. Dia yang paling hobi tertawa, kalau kita kesal dan marah ia akan tetap tertawa dan tersenyum yang akhirnya saya tidak bisa marah pada mereka-mereka yang polos itu.

Jika bertanya bagaimana akademik mereka, pasti akan sama kesulitan yang dialami dengan yang dirasakan teman-teman SM-3T lainnya yang mengajar di SD, tidak jauh beda. Saya di sini bermain dengan angka perkalian setiap akhir pembelajaran, bermain dengan EYD, bermain dengan calistung, terutama dengan ilmu-ilmu dasar dalam pembelajaran.

Ada banyak kegiatan dan moment menyenangkan yang sudah aku lakukan dengan bocah-bocah manis ini. Selama semester 2 kami sudah belajar calistung dan belajar menari setiap sore jum’at. Bermain catur bersama, berolahraga bersama, bercerita-cerita saat waktu istirahat, makan bersama, jalan-jalan bersama hingga mengikuti berbagai kegiatan yang diadakan oleh desa setempat seperti: lomba penyambutan bulan suci Ramadhan, perayaan maulid Nabi Muhammad saw yang dilaksanakan semeriah mungkin dihadiri pengunjung dari berbagai daerah.

Tak hanya itu serangkaian kegiatan adat/kebudayaan mereka juga tak luput dari perhatian dan rasa penasaranku. Aku juga ikut dan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan. Seperti: kenduri turun sawah, kenduri pernikahan, kegiatan yasinan ibu-ibu seuneubok, kegiatan tolakbala, sunting dan berbagai kebiasaan yang belum pernah kualami di kampung kelahiranku sendiri.

Di sini aku belajar bahasa Aceh. Awal kudengar logat mereka, serasa aku ada di Thailand. Kata pertama yang kutau “loen” yang berarti “aku/saya” dan mengikut dengan kata-kata lainnya. Setiap pulang sekolah akan selalu ku dengar sapaan ibu-ibu “piyoh dile buk/singgah dulu buk”. Dan kalimat “pajoh bu/makan nasi”. Kata-katanya unik dan sebagian bisa kuikuti dalam keseharian disana.

Aceh- Padang merupakan satu saudara yang masih memiliki sedikit kesamaan dalam hal-hal kebiasaan/kebudayaan tertentu.  Sehingga aku belajar banyak hal. Mulai dari karakter, kebiasaan, bahasa, makanan dan adat istiadat mereka semua menjadi hal menarik yang tak pernah bisa aku dapatkan jika tidak ikut SM-3T. Terima kasih SM-3T.

GAM (Gerakan Aceh Merdeka) pasti ingatkan dengan gerakan yang setenar seantero negeri ini. Ya, aku di sini. Mendengar cerita-cerita memilukan masa GAM, mulai dari rumah yang ditembak ribuan peluru oleh aparat karena di anggap ada pemberontak GAM. Ada yang bersembunyi di gunung dan hutan bahkan sampai melahirkan di gunung, dan jasad yang tidak ditemukan. Mendengar cerita bagaimana mereka bertahan dalam konflik. Yang paling memilukan adalah ada segerombolan warga kecamatan itu yang tidak bersalah dan tidak terlibat GAM dibakar hidup-hidup karena kesalahpahaman dan api gejolak perseteruan aparat dan GAM. Sungguh memilukam jika mengingat kisah-kisah perjuangan warga setempat bertahan di antara konflik yang bergejolak kala itu. Namun saat ini mereka sepertinya sudah menikmati masa-masa merdeka dari konflik dan menjalani kehidupan dengan lebih baik.

5 Agustus 2016, moment di mana tak ingin ada kata perpisahan dan serangkaian tangisan yang tak ingin kuciptakan. Akan tetapi serangkaian perhelatan perpisahan itu membuncah dalam derai tangis yang tak ingin kutumpahkan dan akhirnya tumpah di sore itu menghitung jam detik-detik kepulangan. Kemal, nama bocak 5 tahun ini yang akan selalu mengekorku dan teman bermain berantemku selama di sana. Ia bahkan tak mau melepaskan ujung bajuku kala perpisahan, dia malah merengek dan menangis karena tau aku akan pulang. Dia mendampingiku sampai selesai dan berkata “bek wo buk/jangan pulang buk”. Aku berkaca-kaca sambil tersenyum, membatin dalam hati, “ini pertama kalinya ada bocah yang dekat denganku dan sedih ketika tau aku akan pulang kampung”.

Walau singkat walau banyak rintangan di awal tapi di akhir ini menjadi pengalaman yang berharga, aku mendapatkan pelajaran, saudara, keluarga, dan orang-orang baru dengan hati yang tulus. Aku belajar banyak hal disini, semuanya. Dan akan menjadi kenangan yang tak terlupakan. Kenangan ini semoga jadi pembelajaran dan ilmu yang bermanfaat nanti. Untukku, untuk mereka, dan untuk semua. Semoga silaturahmi tetap terjalin, yang tinggal jadi kebaikan yang pergi jadi kebaikan. Semoga suatu saat bisa berkunjung kesana dengan cerita dan kondisi yang lebih baik.

Sejumlah bait kata pewakil rasa, ribuan makna dalam asa ku persembahkan untuk desa pengabdian yang menjadi kenangan dan cerita masa tuaku nanti:

 

Hamparan hijau dikaki bukit seuneubok

Membangunkan malam nan senyap diantara kokok ayam jantan yang bernyanyi

Pagi berembun sepanjang jalan tanpa liku dipertigaan itu

Bahwa ia punya kisah punya cerita..

 

Pagi itu…

Anak-anak muda berlalu lalang,

Tua muda tertawa renyah tengah berbincang

Keadaan sawah yang kian hijau dan menguning

Dan Aku ada diantara pengamat yang tak terlihat

Dipondok  tua nan reot bersantai menjutaikan kaki ditepian papan kayu yang lapuk kian waktu…

 

Aku disini menikmati kebiasaan..

Mereka ramah, mereka santun, mereka bersahabat, mereka menginspirasi

Kebaikan disetiap senyuman

Sapaan ramah disetiap langkah pagi

Dan kicauan canda tawa disetiap obrolan sang pendatang

Kutemukan kebaikan-kebaikan dalam setiap prasangka

Ketemukan cinta tulus mereka dalam setiap helaan

Kutemukan syukur disetiap sujud malam-malamku, disini…

 

Kampung ini jawaban dari misteri pengabdian SM-3Tku

Rumah yang jarang diantara ilalang-ilalang yang kian rimbun

Kala siang, akan kau temui kicauan burung dan semilir angin menari dari pohon ke pohon

Sore, riuh dengan gelak tawa anak-anak dan rumpian ibu-ibu

Waktu mereka bercengkarama lepas penat mendaki perbukitan

Saat maghrib, akan kau temui para santri dan tengku merangkak menggontaikan kaki menuju rumahNYA menunaikan kewajiban..

Malam hari, rembulan enggan muncul dan istirahat diantara awan-awan malam pengantar mimpi

Ya, itulah segelintir kisah dari sudut julukan kota serambi mekkah

 

                                                   Aceh selatan, 20 Agustus 2015 - 6 Agustus 2016

Diceritakan di Malang, 17/9/2017

 

 

 

 

 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Reward untuk mencintai dunia menulis

Semakin dibagi semakin tak terbatas

Kisah Perjalanan yang Berkah